Jumat, 02 November 2018

Mahasiswa UGM Sulap Limbah Darah Sapi Jadi Obat Luka Diabetes  

Mahasiswa UGM Sulap Limbah Darah Sapi Jadi Obat Luka Diabetes

 30 September 2015, 09:57 WIB Oleh: Ika 3242 0  Versi PDF

Mahasiswa UGM Sulap Limbah Darah Sapi Jadi Obat Luka Diabetes

Mahasiswa UGM Sulap Limbah Darah Sapi Jadi Obat Luka Diabetes

Mahasiswa UGM Sulap Limbah Darah Sapi Jadi Obat Luka Diabetes

Mahasiswa UGM Sulap Limbah Darah Sapi Jadi Obat Luka Diabetes

Mahasiswa UGM Sulap Limbah Darah Sapi Jadi Obat Luka Diabetes

Penderita diabetes mellitus dengan komplikasi memiliki risiko penyembuhan luka dalam waktu lama. Bahkan bisa berakhir dengan amputasi bagian tubuh yang terluka karena faktor infeksi. Waktu penyembuhan luka pada diabetasi yang memakan waktu lama dikarenakan respon inflamasi yang memanjang.

Lama penyembuhan luka pada penederita diabetes dengan perawatan standar biasanya mencapai 12-20 minggu. Sementara obat-obat yang tersedia untuk penyembuhan luka diabetes masih belum efektif menyembuhkan luka karena tidak dapat meregenerasi kulit secara optimal.

Kondisi tersebut  mendorong sekelompok mahasiswa UGM mengembangkan obat penyembuh luka penderita diabetes. Mereka Rahmad Dwi Ardhiansyah, Muhammad Nuriy Nuha Naufal, Muhamad Atabika Farma Nanda, Riefky Pradipta Baihaqie, yang merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan dan Kurnia Rahmawati, mahasiswa Fakultas Farmasi.

Rahmad menyampaikan bahwa Indonesia saat ini merupakan negara dengan jumlah penderita diabetes terbesar ke-5 di dunia yaitu sebanyak 9,1 juta orang. Sehingga pengembangan obat untuk menyembuhkan luka diabetasi yang efektif sangat dibutuhkan. Ia bersama rekan-rekannya dibawah bimbingan dosen drh. Yuda Heru Fibrianto, MP, Ph.D., mengembangkan obat luka dengan memanfaatkan limbah darah sapi.

“Indonesia memiliki potensi pengembangan obat dari darah sapi yang bisa diperoleh dari rumah potong hewan (RPH) yang selama ini tidak termanfaatkan dan hanya mencemari lingkungan,” urainya, Rabu (30/9) di Kampus UGM.

Selama ini limbah darah sapi di RPH hanya dibuang dan mencemari lingkungan. Padahal dalam satu tahun di satu RPH, kata dia, bisa menghasilkan limbah darah sebanyak 88.088 liter. Namun ditangan lima mahasiswa muda ini darah sapi yang mulanya sebagai limbah disulap menjadi sesuatu yang bernilai guna dan bernilai jual.

Pengembangan obat diawali dengan memisahkan platelet dari limbah darah sapi. Selanjutnya dari hasil pemisahan tersebut dicampurkan dengan basis cream sehingga menjadi homogen.

“Krim tersebut akan menjadi obat topikal pada kulit sehingga mudah merekat pada luka. Dari perekatan tersebut platelet akan mempengaruhi kesembuhan luka sehingga luka akan sembuh secara cepat dan tanpa bekas,” jelasnya.

Selanjutnya krim diujicobakan pada hewan coba berupa tikus. Hasilnya menunjukkan obat yang dibuat dari limbah darah sapi tersebut sangat efektif untuk mengobati luka pada penderita diabetes melitus. Hal itu ditandai dengan tingkat kesembuhan yang baik dengan tidak adanya bekas pada luka kulit tikus.

“Hewan coba yang diaplikasikan limbah darah sapi memiliki kesembuhan luka lebih cepat dan tanpa bekas dibanding kelompok lain. Pada hari ke-11 sudah terlihat bahwa luka sudah menutup dan sembuh,” imbuh Kurnia.

Saat ini obat yang mereka kembangkan tengah dalam proses paten. Selain sebagai luka pada penderita diabetes, dikatakan Kurnia produk ini bisa dimanfaatkan untuk menyembuhkan luka bakar, luka gores, luka bekas bedah, maupun berbagai macam luka pada kulit. Selain bisa memberikan kesembuhan luka secara optimal, dengan pengembangan produk ini mampu mengurangi pencemaran limbah darah sapi yang belum banyak dimanfaatkan. Tak hanya itu, dengan pengembangan obat yang memanfaatkan bahan lokal dapat menekan biaya produksi sehingga lebih murah dibanding produk sejenis di pasaran.

“Untuk membuat obat luka komersial Indonesia masih bergantung pada bahan baku obat luka dari luar negeri dan harga masih sangat mahal. Dengan pengembangan obat dengan memanfaatkan bahan lokal dengan jumlah yang melimpah harapannya bisa mengurangi ketergantungan pada produk impor,” ujarnya. (Humas UGM/Ika).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar